Bandar Lampung (Lidik.id) — Koordinator Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL), Almuhery, menilai Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui pihak Taman Nasional Way Kambas (TNWK) tidak memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan konsultasi publik terkait rencana perubahan zona inti kawasan konservasi tersebut.
Menurut Almuhery, hingga dua pekan pascapelaksanaan konsultasi publik, proses yang dilakukan terkesan hanya formalitas atau “ecek-ecek”. Pasalnya, seluruh audiens yang diundang dalam forum tersebut dinilai tidak merepresentasikan pandangan kritis publik, melainkan pihak-pihak yang sejak awal dianggap sudah “nggeh” atau menyetujui rencana yang disodorkan.
“Kondisi ini sangat membahayakan keberlangsungan TNWK sebagai kawasan konservasi. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan akan muncul kepentingan asing, baik dari Amerika, Belanda, atau pihak lain, yang mengajukan perluasan pemanfaatan kawasan TNWK dengan dalih perdagangan karbon atau wisata premium,” kata Almuhery.
Ia mengingatkan, dalih perdagangan karbon berpotensi menjadi pintu masuk untuk menghabiskan kawasan konservasi menjadi area bisnis.
Menurutnya, perlu dihitung secara cermat berapa triliun rupiah nilai ekonomi yang diklaim akan diperoleh dari perdagangan karbon, lalu dibandingkan dengan nilai ekologis konservasi, pembagian manfaat bagi pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten.
“Sebanding tidak manfaatnya? Atau justru hanya akan menjadi bancakan segelintir pejabat di jajaran Kemenhut, yang kita sama-sama tahu rekam jejak dan kondisinya,” tegasnya.
Almuhery menilai upaya mengubah zona inti TNWK menjadi zona pemanfaatan merupakan bentuk kejahatan terhadap ekosistem kawasan konservasi Way Kambas, meskipun dibungkus dengan narasi perdagangan karbon.
Ia menambahkan, hingga kini mekanisme perdagangan karbon di Indonesia juga belum memiliki kejelasan yang kuat, sehingga rencana tersebut terkesan dibuat-buat dan sarat kepentingan bisnis kawasan hutan.
“Kalau alasannya rehabilitasi, kenapa harus diubah menjadi zona pemanfaatan yang sangat riskan dimanfaatkan untuk ekowisata? Seharusnya, jika memang untuk perbaikan kawasan, cukup diubah menjadi zona rimba yang perlindungannya lebih ketat,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa perubahan zonasi, bila memang terpaksa dilakukan, harus bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu, lalu dikembalikan lagi menjadi zona inti. Hal itu dinilai lebih sejalan dengan semangat perlindungan kawasan konservasi, terutama jika alasan perubahan hanya karena hambatan regulasi Undang-Undang Konservasi.
“Intinya jelas, konservasi tidak boleh berhenti. Jangan korbankan zona inti TNWK atas nama karbon dan kepentingan bisnis,” pungkas Almuhery.









Discussion about this post